Kamis, 12 Mei 2011

Etika Pergaulan

Sebagai bangsa yang berbudaya, dan telah dikenal dunia sebagai bangsa yang sopansantun, maka sebaiknya kita semua menampilkan sikap yang santun dalam pergaulan, membuat orang lain senang, dan merasa dihargai. Setiap orang akan senang bila dihargai, disapa dengan kata-kata lembut yang baik, termasuk wong cilik, orang ekonomi lemah. Wong cilik akan lebih santun kepada orang yang menghargai mereka. Orang yang santun, meski derajatnya tinggi, tidak sombong, ini yang disebut orang yang berbudaya. Orang yang berperilaku baik, berbahasa baik, berbudi baik, selain akan dihargai orang lain, juga secara pribadi diuntungkan, yaitu akan mengalami peningkatan taraf kejiwaannya, mengalami kemajuan batiniah.

Tatakrama dan Tata Susila

Tatakrama dan Tata Susila juga tak terlepas dari budi pekerti.
Dalam adat Jawa sangat ditekankan dan ditanamkan kepada setiap orang untuk berlaku sopan dan santun. Berlaku sopan, bertatakrama yang meliputi sikap badan, cara duduk, berbicara dll. Misalnya kepada orang tua dan yang orang yang lebih tua atau dituakan harus berbahasa halus/kromo, dengan teman berbahasa ngoko. Bahasa Jawa memang unik, karena dengan melihat dan mendengarkan seseorang bersikap dan berbicara, maka dengan mudah bisa menunjukkan sifat tatakrama seseorang.

Menghormati orang tua, guru, pinisepuh adalah merupakan suatu kewajiban, tetapi bukan berarti bahwa yang muda tidak dihormati. Hormat kepada orang lain itu tetap merupakan suatu keharusan.

Itu kesemuanya termasuk dalam Tata Susila- etika moral, yang juga meliputi :

Bahasa kromo dan ngoko

Pada dasarnya ada dua tingkatan dalam bahasa Jawa, yaitu : Kromo, bahasa halus dan ngoko, bahasa biasa. Bahasa kromo dipakai untuk menghormat orang tua atau orang yang perlu dihormat, sedangkan ngoko biasanya dipakai antar teman.
Semua kata yang dipakai dalam dua tingkat bahasa tersebut berbeda, contoh :

Bahasa Indonesia      : Saya mau pergi.
Kromo                        : Kulo bade kesah.
Ngoko                        : Aku arep lunga.

Dalam percakapan sehari-hari, orang tua kepada anak memakai bahasa ngoko, sedang anaknya menggunakan wajib berbahasa kromo. Tetapi dalam pergaulan sehari-hari banyak kita temui pemakaian bahasa campuran, yaitu memakai kata-kata dari bahasa kromo dan bahasa ngoko. Bahasa ini lebih mudah dipelajari dalam praktek akan tetapi sulit untuk dipelajari secara teori.

Ora ilok,
tidak pantas suatu kearifan

Orang tua zaman dulu sering bilang : ora ilok,artinya tidak baik, untuk melarang anaknya.Jadi anak tidak secara langsung dilarang, apalagi dimarahi.Ungkapan tersebut dimaksudkan , agar si anak tidak melakukan perbuatan yang tidak sopan atau mengganggu keharmonisan alam. Misalnya ungkapan : Ora ilok ngglungguhi bantal, mengko wudhunen (Tidak baik menduduki bantal , nanti bisulan). Maksudnya supaya tidak menduduki bantal, karena bantal itu alas kepala. Meludah sembarang tempat atau membuang sampah tidak pada tempatnya, juga dibilang ora ilok, tidak baik. Tempo dulu, orang tua enggan menjelaskan, tetapi sebenarnya itu merupakan kearifan. Lebih baik melarang dengan arif, dari pada dengan cara keras.

Tembang yang bermakna

 Pada dasarnya, pendidikan informal dirumah, dikalangan keluarga adalah ditujukan dengan harapan yang terbaik bagi anak asuh. Coba perhatikan ayah atau ibu yang meninabobokkan anak dengan kasih sayang dengan  melantunkan tembang untuk menidurkan anak , isinya penuh permohonan kepada Sang Pencipta, seperti tembang : Tak lelo-lelo ledung, mbesuk gede pinter sekolahe, dadi mister, dokter, insinyur. ( Sayang, nanti sudah besar pintar sekolahnya, jadi sarjana hukum, dokter atau insinyur).

Atau doa dan  permohonan yang lain : Mbesuk gede, luhur bebudhene,jumuring ing Gusti, angrungkubi nagari ( Bila sudah dewasa terpuji budi pekertinya, mengagungkan Tuhan dan berbakti kepada negara).

sumber  & inspirasi Sabdalangit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar