Falsafah Ajaran Hidup Jawa memiliki tiga aras dasar utama.
Yaitu: aras sadar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta dan aras keberadaban manusia. Aras keberadaban manusia implementasinya dalam ujud budi pekerti luhur. Maka di dalam Falsafah Ajaran Hidup Jawa ada ajaran keutamaan hidup yang diistilahkan dalam bahasa Jawa sebagai piwulang (wewarah) kautaman.
Ada perbedaan signifikan antara filsafat Barat dan filsafat Timur.
Di Barat ilmu filsafat identik dengan aktifitas otak dan diperuntuk mempelajari ilmu itu sendiri. Ini sangat berbeda dengan filsafat Timur juga di Nusantara khusus nya di Jawa yang terwakili para Pujangga dan bangsawan khususnya Jawa. Dimana para Pukangga dan bangsawan Jawa tidak pernah mempelajari ilmu filsafat untuk ilmu itu sendiri, melainkan hanya sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan, Dan satu langkah lebih maju lagi merupakan menuju ke arah kebebasan dan satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan akhir.
Dimanapun kita tidak pernah menjumpai ilmu filsafat dan pengetahuan mengenai Tuhan ditumbuhkan . Justru di Jawa yang dianut adalah Hikmah yang tertinggi , yaitu titik puncak dari pada falsafah adalah mengenai Tuhan dari yang Mutlak dan hubangan antara manusia dengan Nya.
Oleh karena itu di Jawa filsafat tidak dijadikan aktifitas otak ,tidak seperti di barat Di Nusantara pernyataan - pernyataan berfikir secara filosofis memang belum pernah dihimpun menjadi suatu sistim oleh seorang filsuf.
Di Jawa pemikiran secara filosofis terutama masih dalam bentuk suluk,tembang ataupun jarwa dimana orang selalu memcari tentang arti kehidupan manusia,asal usulnya,tujuan akhir dan hubungan dangan Tuhan dan Dunia. Dimana sifat yang diciptakan diselidiki,dan bagaimana sitat itu berada di antara ke-Tidak Ada-an dan ke Ada-an Mutlak yang benar, yaitu Tuhan. Yang pada puncaknya ada didalam diri Pribadi dan dari diri sendiri (manunggaling Kawula-Gusti Seperti halnya tokoh Bima suci atau Wrekudara mencari air kehidupan( tirta manik kamandanu)kunci pokok dalam pengetahuan tertinggi Kejawen.
Secara alamiah manusia sudah terbekali kemampuan untuk membedakan perbuatan benar dan salah serta perbuatan baik dan buruk. Maka peranan Piwulang Kautaman adalah upaya pembelajaran untuk mempertajam kemampuan tersebut serta mengajarkan kepada manusia untuk selalu memilih perbuatan yang benar dan baik menjauhi yang salah dan buruk.
Namun demikian, pemilihan yang benar dan baik saja tidaklah cukup untuk memandu setiap individu dalam berintegrasi dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat. Oleh karena itu, dalam Piwulang Kautaman juga diajarkan pengenalan budi luhur dan budi asor dimana pilihan manusia hendaknya kepada budi luhur. Dengan demikian setiap individu atau person menjadi terpandu untuk selalu menjalani hidup bermasyarakat secara benar, baik dan pener
(tepat, pas).
Filsafat Timur atau Nusantara dan Jawa pada khususnya biasanya tidak pernah mempersoalkan hakekat Tuhan secara terbuka ,terkecuali tentang pelajaran budhi pakarti luhur. Mempersoalkan hakekat Tuhan sangat dianggap tabu(cumanthaka) karena isi kandungan tentang ke Tuhanan adalah rahasia (wadi),yang hanya boleh dibicarakan oleh sesama penghayat yang sepaham yang telah terbuka hatinya (sak banyu).
Di Jawa khususnya cukup dinyatakan bahwa Tuhan itu ada dan bersifat “ Transcendent dan Immanent” dalam pembicaraan umum dimasyarakat dinyatakan bahwa Tuhan itu tan” kinaya ngapa” yang artinya tidak dapat diumpamakan seperti apapun yang ada di dunia.
Dengan kenyataan adanya filsafat Pibumi (autoctone) di Jawa untuk mencapai kesempurnaan mencapai tujuan akhir sebagai hikmah tertinggi mengenai Tuhan yang sekaligus juga sebagai titik tertinggi falsafah kejawen dan inilah yang menjadi “Jati Diri Kejawen ”, maka dapat disimpulkan keyakinan dan ajaran kejawen adalah juga ajaran “Agama asli Pribumi “.
Pernyataan tentang titik tertiggi falsafah kejawen yang juga sebagai Agama ageming Aji juga diperkuat Mangkunegara IV didalam kitab Wedatama tembang pangkur berikut “Mingkar mingkure angkara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung sinuba sinukarta, mrih kretarta pakartining ilmu luhung, kang tumrap ing tanah Jawa, agama ageming aji”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar